Jumat, 15 Juli 2011

Jangkang dalam Rekam Jejak Zaman Kolonial

Oleh : R. Masri Sareb Putra

Adakah Jangkang dalam peta dunia? Terdeteksikah etnis ini dalam khasanah bahasa dan peradaban bangsa-bangsa?

Kita hampir musykil menemukan di mana posisi Jangkang sebelum merdeka dalam peta dunia. Wilayah yang mengelilingi Gunung Bengkawan itu belum terekam dalam khasanah dan pergaulan internasional.

Praktis, Jangkang hanya ada dalam satu dua wacana di masa prakemerdekaan. Yang hanya disebut sekelebat saja, ketika membahas suku-suku lain, misalnya Bidayuh, Iban, Kenyah, dan Kayan yang menjadi terkenal di mancanegara karena Sir James Brooke, “Rajah Putih Penguasa Sarawak”, yang memerintah negeri berpenduduk mayoritas Dayak itu gemar “menjual” etnis Dayak ke luar.

Lepas dari usahanya mengenalkan etnis Dayak ke luar, dan dari sana nantinya banyak etnolog dan peneliti menulis tentang Dayak, satu kelicikan Brooke patut untuk dicatat. Betapa tidak! Ia mahir menggunting dalam lipatan. Setelah membantu Sultan Brunei menumpas para pemberontak Dayak Bidayuh melawan Sultan Brunei, ia kemudian memreteli kekuasaan Sultan. Bahkan, dinobatkan menjadi raja putih bagi suku Dayak. The white king begun stealing in the Dayak’s land from here!

Pelajaran yang ditinggalkan Brooke pantas dicatat untuk kemudian disimak. Ia telah membangun dinasti di Negeri Sarawak, menerapkan nepotisme, kekuasaan dibuatnya berpusat pada satu tangan. James Brooke 27 tahun menjadi raja Sarawak (1841-1868). Ia digantikan keponakanya Charles Brooke (1868-1917), dan raja ketiga adalah Charles Vyner Brooke (1917-1941). Dengan demikian, dinasti Brooke ini berkuasa di Sarawak sampai tahun 1941.
Sir James Brooke, Si Raja Putih yang "menjajah" Negeri Dayak.

Karl Helbig, salah satu cendikiawan Barat yang jadi populer karena meneliti etnis Dayak.

Selain menempel ketenaran Dayak Bidayuh, Jangkang disebut sekilas dalam catatan Karl Helbig, seorang penjelajah dan etnologist berkebangsaan Jerman yang bernama lengkap Karl Martin Alexander Helbig. Itu pun disebut sambil lalu, tatkala Helbig mengisahkan ekspedisinya melintas Borneo dari Songkong (mestinya Sungkung)sebuah tempat tinggal Dayak Sarawak yang letaknya tidak jauh dari Jangkang.

Keraton Kerajaan Sambas, populer disebut “Alwatziqubillah”, punya hubungan historis dengan Sarawak dan Brunei. Hubungan historis ini yang menjadi latar, mengapa Dayak di Malaysia sudi membantu saudaranya di Kalimantan Indonesia waktu kerusuhan Sambas.

Tidak secara telak menyebut, namun Jangkang sempat dicatat sebagai salah satu subsuku Dayak di kerajaan Sanggau yang terkenal gagah berani dalam peperangan. Merekalah headhunting yang sesungguhnya.

Dibandingkan etnis Melayu, Dayak di wilayah kerajaan Sanggau cukup menjadi perhatian para pakar antropologi budaya dan menjadi pokok kajian (objek material) ilmiah sejak zaman kolonial. H.P.A Bakker misalnya, dalam jurnal Tijdschrift voor Indische Taal Land en Volkenkunde volume 29 yang terbit tahun 1884, sambil menyingung mengenai sejarah Kerajaan Sanggau, sempat menyentil tentang kepercayaan dan adat istiadat penduduk setempat.

Kemudian, M.C. Schadee, Controleur bij het Binnenlandsch Bestuur (Kontrolir Pamong Praja) mencatat kepercayaan suku Dayak di daerah Landak dan Tayan yang disebutnya sebagai shamanisme.

Karena Tayan merupakan asal nenek moyang Dayak Jangkang (Macan Luar alias Kek Gila), maka bolehlah ditarik kesimpulan bahwa pada masa sekitar awal abad 18, kepercayaan penduduk asli Tayan sama dengan yang kemudian dibawa ke Jangkang. Pendiri Jangkang, “Kek Gila” berasal dari Tayan.

Pada zaman kolonial, dan hingga masa pendudukan Jepang, Jangkang kurang menarik perhatian pemerintah jajahan. Hal ini karena luasnya kepulauan Borneo. Apalagi, waktu itu, Borneo belum menjadi wilayah kolonial sendiri. Dan baru pada tahun 1936 ditetapkan Ordonantie pembentukan Gouvernementen Sumatra, Borneo en de Groote-Oost (Stbld. 1936/68). Borneo Barat menjadi daerah Karesidenan dan sebagai Gouvernementen Sumatra, Borneo en de Groote-Oost yang pusat pemerintahannya adalah Banjarmasin.
Dua tahun kemudian, Gouvernementen van Borneo dibagi dua. Yakni Residente Zuideen en Oosterafdeling van Borneo dengan ibukota Banjarmasin dan Residente Westerafdeling dengan ibukotanya Pontianak.
Jangkang nan menawan terletak di kaki Gunung Bengkawan. Sejuk hawanya, segar udaranya, indah panorama alaminya.

Tiap-tiap Residente dikepalai seorang Resident dengan Besluit Gouverneur van Borneo tertanggal 10 Mei 1939 No.BB/A-I/3/Bijblad No. 14239 dan No.14239 a) Residensi Kalimantan Barat dibagi menjadi empat afdeling dan 13 onder afdeling.

Jarak Jangkang ke sebuah kota kecil tepi Sungai Mengkiang, Balai Sebut, yang kini menjadi pusat pemerintahan Kecamatan Jangkang dan paroki Jangkang, adalah 7 km.
Hingga tahun 1980, transportasi hanya bisa dilalui dengan jalan kaki, sepeda, dan sepeda motor. Praktis, kontak dengan dunia luar dan pusat pemerintahan di luar daerah itu melalui sarana transportasi air yang harus dilayari dengan perahu bermotor 18-24 jam, menginap di perjalanan, dan baru diteruskan esok harinya.
Jika tidak memungkinkan, misalnya jika musim kemarau dan perahu motor terdampar di Riam Kaboja, maka perjalanan akan lebih lama lagi. Jika keadaan tidak memungkinkan, biasanya ke Sanggau orang Jangkang akan berjalan kaki. Melintasi kampung Sekantut, Parai, Jeropet, daerah Jungur Tanjung, Entakai, hingga masuk kota Sanggau.

Meski cukup jauh dari Jangkang, Sungai Mengkiang boleh dikatakan sangat strategis karena beberapa hal.

Pertama, sungai yang juga sering disebut Moncangk itu memberikan kehidupan bagi penduduk karena ikannya berlimpah dan terkenal lezat. Lais, baong, tuman, tapah, dan seluang merupakan ikan kegemaran. Orang Jangkang sering mencari ikan di sungai ini, bersama-sama dengan orang Melayu Balai Sebut, tapi tidak pernah berkelahi soal tempat. Bahkan, ada semacam kesepakatan di antara mereka tidak boleh mengambil ikan yang masuk alat penangkap ikan berupa pukat, tajor, kail, ijap, tabent, kolabant.

Kedua, Sungai Mengkiang menjadi strategis karena posisi muaranya yang jatuh tepat di Sungai Sekayam, letaknya tidak jauh dari kota Sanggau di mana Sungai Sekayam bermuara. Sedemikian strategisnya, sehingga Muara Mengkiang bahkan pernah menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Sanggau ketika didirikan Dara Nante yang bersuamikan Babai Cinga.

Akan tetapi, pada zaman pemerintahan Dayang Mas, kota raja dipindahkan dari Sanggau ke Nanga (Muara) Mengkiang. Lalu kembali berpusat di Sanggau lagi pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Jamaluddin.

Ditengarai bahwa dari Nanga Mengkiang inilah kaum Melayu berawal dan membangun pemukiman di sepanjang pesisir Sungai Mengkiang; meski pada zaman prasejarah, sebenarnya moyangnya satu dengan Dayak. Buktinya, kebanyakan kampung/desa di pesisir Sungai Mengkiang mayoritas, bahkan ada yang seluruhnya, Melayu. Sungai Mengkiang, Balai Sebut.

Perkampungan Melayu paling hulu, dan sekarang menjadi pusat ibukota kecamatan Jangkang, adalah Balai Sebut. Tahun 1970-an, 90% warganya Melayu, sisanya Dayak, dan sebagian kecil Tionghoa sebelum etnis ini ditarik ke kota sebagai buntut dari upaya penumpasan PGRS/Paraku. Kini warga Balai Sebut separuhnya Dayak. Mereka bermukim dan mendirikan rumah-rumah agak jauh dari pantai. Ini sesuai dengan kebiasaan orang Dayak pada umumnya. Karena itu, mereka disebut “Sidak Darat” (orang darat) oleh Melayu Balai Sebut.

Dan memang demikianlah kebiasaan orang Dayak. Mereka lebih suka mendirikan perkampungan dan bermukim jauh dari tepi sungai. Itu sebabnya, para pengamat dan penulis asing menyebut mereka Land Dayak, bukan riverside, tapi upperside, karena memang senang bermukim di daratan.

Ditilik dari pola pemukiman dan persebaran penduduk, penghuni Balai Sebut adalah etnis Melayu. Miskinnya sumber-sumber dan catatan tertulis tidak cukup adekwat untuk menyimpulkan kapan etnis Melayu pertama bermukim di Balai Sebut. Tahu-tahu sudah ada etnis yang oleh Dayak Jangkang disebut “Sinan” ini bermukim di pesisir Balai Sebut yang indah karena berbentuk terusan.

Akan tetapi, sumber tertulis seperti catatan seorang misionaris asal Belanda, Herman Josef van Hulten tahun 1940-an, sudah menyebut pemukiman Melayu ini. Dengan sedikit mendeskripsikan kekurangsenangan pemimpin Melayu pada misonaris Belanda, Herman antara lain mencatat,

...Maar weer terug naar Jangkang –tweemaal 70 km te voet, voor niks en strakjes weer opnieuw! Na een half jaar de tweede oproep; weer die 70 km afleggen. Ik sta weer voor het gebow en weer in habijt. Tientallen mensen staan te wachten. Eindelijk hoor ik duidelijk de naam Bong, burgemeester van Balai- Sebut, dus nu moet mijn naam ook volgen. Dan reoept iemand: “Pastor Herman van Jangkang”. Aller ogen zijn op mij gericht; ik ga de trap op, waar Bong al op het bankje zit en mij de plaats naast hem wordt aangewezen. De twee rechters zijn zeer vriendelijk en wensen mij n.b. in Nederlands goedemorgen, wat ik ook vriendelijk beantwoord, terwijl zij mij de hand geven. Een van de twee rechters –ze spreken nog steeds in het Nederlands—vraagt mij eerst een eed af te legen—wat gebeurt. Daarop: “Pastor Herman, vertelt U eens wat er is gebeurt... De rechter herhaale dit in het Maleis en zei erbij van nu af de Malaise taal te gebruiken, zodat de heer Bong het ook zou kunnen volgen. Nu gaf de rechter de heer Bong de gelegenheid om er iets tegenin te brengen....” (Hulten, 1983: 248-249).

Dari deskripsi mengenai Balai Sebut dan perlakuan salah satu pemimpin Melayu di pemukiman tepi sungai Mengkiang ini dapat disimpulkan bahwa ada semacam kekurangsukaan dari pihak Melayu atas kehadiran misionaris asing di Jangkang. Tidak semua, namun hanya sebagian.

Buktinya, ketika gereja dan sekolah Jangkang pertama kali didirikan, para tukang adalah etnis Melayu Balai Sebut yang mengerjakannya. Mereka melakukan kerja bangunan yang bukan merupakan tempat ibadahnya karena keterampilan bertukang memang jagonya kaum Melayu. Keterampilan ini masih diteruskan sampai hari ini. Di sepanjang pesisir Balai Sebut dapat kita saksikan sampan, perahu motor, dan pekerjaan pembuatan kusen dan bangunan tempat tinggal yang dikuasai Melayu.

Sangat boleh jadi, kekurangsenangan pemimpin Melayu pada misionaris asing didorong oleh rasa iri hati, mengapa yang dibantu misionaris justru Dayak dan bukan Melayu? Pada waktu itu, Melayu sudah memeluk agama Islam, sedangkan Dayak pada umumnya masih menganut kepercayaan nenek moyang. Maka etnis Dayak menjadi prioritas evangelisasi.
Dengan demikian, usaha para misionaris menyebarkan syiar agama Katolik kepada etnis Dayak adalah langkah tepat. Namun, cara yang dilakukan secara persuasif, tidak arogan, apalagi memaksa. Para misionaris masuk dan menjadi bagian hidup mereka. Menjadi bagian inetegral suku Dayak, berpola hidup, berperilaku, maupun berpikiran secara mereka pula. Itulah yang dilakukan misionaris asing, seperti Herman. Dalam istilah filsafat antropologi, para misionaris asing melakukan akulturasi dan adaptasi.

Menurut Bakker (1972: 48-49), akulturasi adalah usaha mentransponir ajaran, bahkan struktur-struktur Gereja dari lingkungan kebudayaan Greco-latina ke dalam alam pikiran setempat. Usaha itu merupakan perkembangan Gereja yang radikal dan menghasilkan struktur yang pluriform. Sifat pluriform mengganti sifat uniform yang nyata, lagi kokoh. Perbedaan dan differensiasi seperti sudah bukan saja tuntutan psikologis (human relation) saja seperti adaptasi, melainkan tuntutan teologis. Dalam differensiasi di antara makhluk-makhluk dinyatakan kesempurnaan Pencipta. Harta benda rahmat terlalu kaya daripada mungkin dapat dimuat dalam struktur rohani saja.

Akulturasi inilah awal proses pembribumian ajaran Katolik di antara Dayak Jangkang. Berikutnya, baru terjadi adaptasi di mana para misionaris mengomunikasikan ajaran Gereja Katolik melalui saluran-saluran kebudayaan dalam hal bahasa, sistem berpikir, pola peradaban, dan bentuk-bentuk sosial.

Corak asing semakin melemah, sedangkan kebudayaan bangsa yang didekati semakin diperkuat. Pewarta (misionaris) sekaligus ajaran yang disampaikan mengikuti kebudayaan penduduk setempat tanpa kehilangan sifat hakikinya. Inilah yang disebut adaptasi.

Option for the poor yang menjadi semangat Gereja sejak didirikan di atas Petrus, si batu karang, tetap dibawa misionaris asing ke Jangkang. Tahun 1939 umat Katolik Kobang sudah ada. Yang unik, mula-mula yang menjadi Katolik di Kobang adalah kepala kampungnya, yang digelari “Mangku”, baru kemudian diikuti rakyatnya. Mangku adalah calon temenggung yang otomatis menjalankan tugas tumenggung jika berhalangan atau bila tumenggung mangkat.

Umat Katolik Kobang tahun 1939. Pastor Ewald, “Kek Tuan” Kobang, mendirikan kapel di sini.

Sebelum nantinya berpusat di Jangkang, Ewald sebagai misionaris kerap memilih menginap di Kobang karena hawanya yang dingin, terletak di punggung bukit Bengkawan. Selain berhawa sejuk dan mirip dengan cuaca di negeri asalnya, Kobang dipilih Ewald karena kaki tangan dan tentara Jepang mengincar misionaris Kristen Barat ini. Karena lebih sering menginap di Kobang, maka Ewald digelari “Tuan Kobang”.

Di Kobang sudah berdiri rumah panjang. Ewald mendirikan kapel terpisah dari rumah panjang. Namun, beribu sayang, perpisahan umat Katolik Jangkang dengan Ewald harus terjadi karena ia diinternir Jepang ke kamp di Kuching. Umat menangis. Tiada hentinya mereka berdoa dan berharap “Kek Tuan” kembali lagi ke tengah-tengah mereka. Namun, orang yang dinantikan itu tak pernah kembali karena ia wafat di Kuching dan dimakamkan di sana.

Rumah panjang atau betang di masa-masa awal pembukaan lahan.

Mengapa misi pertama-tama memilih Kobangk, sebuah kampung Dayak di kaki bukit Bengkawan yang berpuncak setinggi 917m, dan berjarak sekitar 7 km dari Jangkang, bukan Balai Sebut sebagai pusat misi?

Pada saat misi pertama kali menginjakkan jejak di tengah Dayak Jangkang, Balai Sebut sudah mengenal agama. Lagi pula, waktu itu penduduknya mayoritas Islam.

Namun, selain Bong, banyak warga Melayu menghargai dan menghormati misionaris. Mereka menyebut “tuan pestor” (tuan pastor). Bahkan, sebelum Balai Sebut mendapat bantuan tenaga medis dari Pemerintah, sebelum tahun 1970-an, warga Melayu sering turun ke Jangkang untuk berobat pada pastor.

Biasanya, tiap-tiap hari raya keagamaan Katolik, mereka tumpah ruah ke Jangkang karena ada keramaian. Baik hiburan maupun pertandingan-pertandingan sering diadakan yang melibatkan hampir semua kampung di seluruh wilayah Paroki Jangkang.

Pada musim buah-buahan juga orang Melayu sering ke Jangkang dan Kobang. Mereka boleh memakan dan memetik buah sesuka hati. Jalinan persaudaraan Dayak-Melayu di Jangkang tetap harmonis. Sepanjang sejarah, tidak pernah ada clash di antara kedua suku.
Karena itu, Tuan Jangkang tetap menjalin dan memelihara hubungan dengan Balai Sebut. Ketika ada urusan di pusat pemerintahan Sanggau, atau tatkala verloop (cuti), para misionaris memerlukan uluran tangan warga Melayu Balai Sebut.

Orang Melayu memiliki perahu motor yang bisa disewa. Atau jika tidak, mereka mahir mengemudikannya, sangat paham liku-liku dan kedalaman sungai Mengkiang, mana alur yang berbahaya dan mana yang tidak, dan sangat mengenal titik paling kritis alur pelayaran sungai yang curam berbatu seperti riam Kaboja.

Menilik kesamaan bahasa, budaya, ditambah rekam jejak alur pelayaran, Balai Sebut merupakan pengembangan dan perluasan wilayah dari kerajaan Sanggau yang sempat berpusat di Nanga Mengkiang.

Sebelum tahun 1980-an, jalur pelayaran sungai Mengkiang menjadi satu-satunya sarana tercepat perjalanan Jangkang-Sanggau-Jangkang yang menempuh jarak sekitar 70 km. Pada waktu jam istirahat makan siang dan malam, biasanya kapal motor berhenti sebentar. Jika gelap dan malam menjelang, maka akan menginap di perjalanan.
Pada saat istirahat dan menginap itulah terjadi kontak dengan penduduk pesisir. Yang jatuh hati, akan menikah dengan warga setempat. Namun, karena mayoritas penduknya Melayu dan beragama Islam maka jika Dayak kawin dengan gadis Melayu ia menjadi Islam dan dikatakan “torojunt kok aik” (mencebur ke sungai). Sebaliknya, jika gadis Melayu kawin dengan Dayak atau pria Melayu kawin dengan gadis Dayak dan mau tinggal bersama orang Dayak, ia disebut “naingk kak darat” (naik ke darat).

Terlepas dari soal kawin-mawin di antara Dayak-Melayu, di wilayah Jangkang ada satu fenomenon menarik. Kedua suku mengikatkan tali persaudaraan dan saling menghormati layaknya saudara sedarah saja. Jika mengikatkan diri sebagai saudara, maka keluarga Dayak dan Melayu menyebut masing-masing dengan dompu. Karena itu, bodompu berarti bersaudara. Mereka saling mengunjungi jika ada hajatan dan hari raya, saling menolong, dan berbagi suka duka layaknya saudara sedarah.

Yang menarik, meski pada awal mula kerajaan Sanggau didirikan oleh bangsawan Melayu dan diteruskan ahliwaris dan putra mahkota Melayu pula, namun “raja” terakhirnya justru orang Dayak. Wasiat Sultan Muhammad Jamaluddin sebelum mangkat, agar penggantinya kelak adalah putra mahkota tetap dipegang teguh.

Demikianlah, meski sempat terjadi friksi dengan Sultan Akhmad Kamaruddin, adik Sultan Muhammad Jamaluddin, dinobatkanlah Abang Taberani yang bergelar Pangeran Ratu Suryanegara menjadi raja kerajaan Sanggau.

Suksesi kerajaan terus berlangsung hingga pemangku kekuasaan kerajaan Sanggau jatuh pada Panembahan Mohammad Ali Mangku Negara (1814-1825). Lalu, jatuh lagi ke tangan Sultan Ayub Paku Negara (1825-1830) yang, pada saat pemerintahannya, mendirikan Masjid Jami di pusat kerajaan Sanggau.

Sejarah kerajaan Sanggau unik. Barangkali sulit menemukan duanya di dunia. Kerajaan yang diawali dan didirikan bangsawan Melayu sejak zaman kolonial, dan masih berlangsung hingga zaman peralihan, akhirnya ditutup oleh “raja” dari keturunan Dayak.

Sejarah kerajaan Sanggau mencatat Panembahan Gusti Ali Akbar memerintah dari 1944-1956. Sayangnya, kurang beruntung bagi Gusti Ali Akbar, sebab pada saat pemerintahannya beliau diintervensi kekuasaan asing yang ditandai dengan dikirimkannya oleh Belanda Asisten Residennya bernama Riekerk. Dengan segera, Riekerk menjalankan politik divide et impera . Tindakan pertama yang dilakukannya ialah menurunkan Gusti Ali Akbar dari tahta kerajaan. Dan pada saat bersamaan mengangkat Panembahan Gusti Mohammad Thaufig sebagai panembah yang memerintah hingga penyerahan swapraja.

Swapraja terakhir dipimpin Uray Mohamad Johan. Pada saat inilah terjadi penyerahan pemerintahan Swapraja Sanggau ke tangan M.Th. Djaman, seorang Dayak, selaku Kepala Daerah Swatantra Tk. II Sanggau pada tanggal 2 Mei 1960. Penyerahan ini, sekaligus menandai berakhirnya era kerajaan Sanggau dan nantinya ganti menjadi ibukota Kabupaten Sanggau.


Sumber : http://masri-sareb.blogspot.com/2009/09/bab-2-buku-dayak-jangkang-from.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar