Sabtu, 16 Juli 2011

Jumat, 15 Juli 2011

Pangkalima Burung




Dalam masyarakat Dayak, dipercaya ada ada suatu makhluk yang disebut-sebut sangat agung, sakti, ksatria, dan berwibawa. Sosok tersebut konon menghuni gunung di pedalaman Kalimantan, bersinggungan dengan alam gaib. Pemimpin spiritual, panglima perang, guru, dan tetua yang diagungkan. Ialah pangkalima perang Dayak, Pangkalima Burung, yang disebut Pangkalima oleh orang Dayak pedalaman.Ada banyak sekali versi cerita mengenai sosok ini, terutama setelah namanya mencuat saat kerusuhan Sambas dan Sampit. Ada yang menyebutkan ia telah hidup selama beratus-ratus tahun dan tinggal di perbatasan antara Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Ada pula kabar tentang Pangkalima Burung yang berwujud gaib dan bisa berbentuk laki-laki atau perempuan tergantung situasi. Juga mengenai sosok Pangkalima Burung yang merupakan tokoh masyarakat Dayak yang telah tiada, namun dapat rohnya dapat diajak berkomunikasi lewat suatu ritual. Hingga cerita yang menyebutkan ia adalah penjelmaan dari Burung Enggang, burung yang dianggap keramat dan suci di Kalimantan.
Selain banyaknya versi cerita, di penjuru Kalimantan juga ada banyak orang yang mengaku sebagai Pangkalima Burung, entah di Tarakan, Sampit, atau pun Pontianak. Namun setiap pengakuan itu hanya diyakini dengan tiga cara yang berbeda; ada yang percaya, ada yang tidak percaya, dan ada yang ragu-ragu. Belum ada bukti otentik yang memastikan salah satunya adalah benar-benar Pangkalima Burung yang sejati.

Banyak sekali isu dan cerita yang beredar, namun ada satu versi yang menurut saya sangat pas menggambarkan apa dan siapa itu Pengkalima Burung. Ia adalah sosok yang menggambarkan orang Dayak secara umum. Pangkalima Burung adalah perlambang orang Dayak. Baik itu sifatnya, tindak-tanduknya, dan segala sesuatu tentang dirinya.
Lalu bagaimanakah seorang Pangkalima Burung itu, bagaimana ia bisa melambangkan orang Dayak? Selain sakti dan kebal, Pangkalima Burung juga adalah sosok yang kalem, tenang, penyabar, dan tidak suka membuat keonaran. Ini sesuai dengan tipikal orang Dayak yang juga ramah dan penyabar, bahkan kadang pemalu. Cukup sulit untuk membujuk orang Dayak pedalaman agar mau difoto, kadang harus menyuguhkan imbalan berupa rokok kretek.

Dan kenyataan di lapangan membuyarkan semua stereotipe terhadap orang Dayak sebagai orang yang kejam, ganas, dan beringas. Dalam kehidupan bermasyarakat, orang Dayak bisa dibilang cukup pemalu, tetap menerima para pendatang dengan baik-baik, dan senantiasa menjaga keutuhan warisan nenek moyang baik religi maupun ritual. Seperti Pengkalima Burung yang bersabar dan tetap tenang mendiami pedalaman, masyarakat Dayak pun banyak yang mengalah ketika penebang kayu dan penambang emas memasuki daerah mereka. Meskipun tetap kukuh memegang ajaran leluhur, tak pernah ada konflik ketika ada anggota masyarakatnya yang beralih ke agama-agama yang dibawa oleh para pendatang. Riuh rendah tak berubah menjadi ketegangan di ruang yang lingkup–yang oleh orang Dayak Ngaju disebut Danum Kaharingan Belum.

Kesederhanaan pun identik dengan sosok Pangkalima Burung. Walaupun sosok yang diagungkan, ia tidak bertempat tinggal di istana atau bangunan yang mewah. Ia bersembunyi dan bertapa di gunung dan menyatu dengan alam. Masyarakat Dayak pedalaman pun tidak pernah peduli dengan nilai nominal uang. Para pendatang bisa dengan mudah berbarter barang seperti kopi, garam, atau rokok dengan mereka.
Pangkalima Burung diceritakan jarang menampakkan dirinya, karena sifatnya yang tidak suka pamer kekuatan. Begitupun orang Dayak, yang tidak sembarangan masuk ke kota sambil membawa mandau, sumpit, atau panah. Senjata-senjata tersebut pada umumnya digunakan untuk berburu di hutan, dan mandau tidak dilepaskan dari kumpang (sarung) jika tak ada perihal yang penting atau mendesak.

Lantas di manakah budaya kekerasan dan keberingasan orang Dayak yang santer dibicarakan dan ditakuti itu? Ada satu perkara Pangkalima Burung turun gunung, yaitu ketika setelah terus-menerus bersabar dan kesabarannya itu habis. Pangkalima burung memang sosok yang sangat penyabar, namun jika batas kesabaran sudah melewati batas, perkara akan menjadi lain. Ia akan berubah menjadi seorang pemurka. Ini benar-benar menjadi penggambaran sempurna mengenai orang Dayak yang ramah, pemalu, dan penyabar, namun akan berubah menjadi sangat ganas dan kejam jika sudah kesabarannya sudah habis.

Pangkalima Burung yang murka akan segera turun gunung dan mengumpulkan pasukannya. Ritual–yang di Kalimankan Barat dinamakan Mangkuk Merah–dilakukan untuk mengumpulkan prajurit Dayak dari saentero Kalimantan. Tarian-tarian perang bersahut-sahutan, mandau melekat erat di pinggang. Mereka yang tadinya orang-orang yang sangat baik akan terlihat menyeramkan. Senyum di wajahnya menghilang, digantikan tatapan mata ganas yang seperti terhipnotis. Mereka siap berperang, mengayau–memenggal dan membawa kepala musuh. Inilah yang terjadi di kota Sampit beberapa tahun silam, ketika pemenggalan kepala terjadi di mana-mana hampir di tiap sudut kota.
Meskipun kejam dan beringas dalam keadaan marah, Pengkalima Burung sebagaimana halnya orang Dayak tetap berpegang teguh pada norma dan aturan yang mereka yakini. Antara lain tidak mengotori kesucian tempat ibadah–agama manapun–dengan merusaknya atau membunuh di dalamnya. Karena kekerasan dalam masyarakat Dayak ditempatkan sebagai opsi terakhir, saat kesabaran sudah habis dan jalan damai tak bisa lagi ditempuh, itu dalam sudut pandang mereka. Pembunuhan, dan kegiatan mengayau, dalam hati kecil mereka itu tak boleh dilakukan, tetapi karena didesak ke pilihan terakhir dan untuk mengubah apa yang menurut mereka salah, itu memang harus dilakukan. Inilah budaya kekerasan yang sebenarnya patut ditakuti itu.

Kemisteriusan memang sangat identik dengan orang Dayak. Stereotipe ganas dan kejam pun masih melekat. Memang tidak semuanya baik, karena ada banyak juga kekurangannya dan kesalahannya. Terlebih lagi kekerasan, yang apapun bentuk dan alasannya–entah itu balas dendam, ekonomi, kesenjangan sosial, dan lain-lain–tetap saja tidak dapat dibenarkan. Mata dibalas mata hanya akan berujung pada kebutaan bagi semuanya. Terlepas dari segala macam legenda dan mitos, atau nyata tidaknya tokoh tersebut, Pangkalima Burung bagi saya merupakan sosok perlambang sejati orang Dayak.
Sumber : http://gunawanrudy.com

Mencintai Dan Setia Seperti Enggang





Kingdom : Animalia
Phylum : Chordata
Class : Aves
Order : Coraciiformes
Family: Bucerotidae
Genus : Buceros
Speciaes : Buceros rhinoceros

Enggang (hornbill), atau Buceros rhinoceros, sejenis burung yang besar badannya dan paruhnya panjang. Yang jantan memiliki mata berwarna merah atau oranye, dan yang betina bermata putih. Panjangnya mencapai 122 cm. Dapat hidup hingga 35 tahun. Bisa dijumpai di Malaysia, Kalimantan, Sumatera dan Sulawesi.

Dalam budaya Kalimantan, burung enggang (tingan) merupakan simbol “Alam Atas” yaitu alam kedewataan yang bersifat “maskulin”. Di Kalimantan, burung enggang sakti dipakai sebagai lambang daerah atau simbol organisasi seperti di Lambang Negeri Sarawak, Kalimantan Tengah, Simbol Universitas Lambung Mangkurat dan sebagainya. Burung enggang diwujudkan dalam bentuk ukiran pada budaya Dayak, sedangkan dalam budaya Banjar, burung enggang diukir dalam bentuk tersamar (didistilir) karena budaya Banjar tumbuh di bawah pengaruh agama Islam yang melarang adanya ukiran makhluk bernyawa.

Cinta dan Kesetiaan Enggang

Selain itu tahukah anda bahwa burung enggang merupakan burung yang setia pada pasangannya dimana burung enggang jantan tak akan pernah berganti pasangan seumur hidupnya. Perlu diketahui juga bahwa pada saat mereka membesarkan anak-anak mereka maka pejantan dan betinanya melakukan peranannya masing-masing. Pada masa-masa ini pejantan akan bertugas mencari makanan berupa buah-buahan, kadal, kelelawar, tikus, ular dan berbagai jenis serangga sedangkan sang betinanya akan bertugas untuk menjaga anak-anaknya di dalam sarang. Hal ini akan mereka lakukan selama anak mereka belum bisa terbang.

Sungguh luar biasa bukan? Sebagai putra borneo, saya sangat berterima kasih kepada Tuhan (Jubata) yang telah menciptakan burung ini dan menempatkan mereka di salah taman di bumi ini, yaitu “Borneo Island”. Melalui burung ini sebenarnya kita dapat belajar mengenai nilai kearifan dan kesetiaan. Tak dapat disangkal lagi sejak jutaan tahun lalu binatang seperti burung enggang sudah berperan aktif dalam pelestarian hutan. Dengan makanan utama mereka yang berupa biji-bijian mereka telah berjasa dalam penyebaran benih-benih tanaman dan pepohonan yang membuat hutan ini tetap lestari. Sebenarnya tanpa kita (manusia) sadari sebenarnya mereka juga telah ikut menjaga bumi ini agar tetap nyaman untuk ditinggali.

Melalui burung ini juga hendaknya kita yang katanya merupakan makhluk yang paling bijaksana mau berkaca dan berani untuk berintropeksi mengenai kehidupan kita sehari-hari. Tentang cinta dan kesetiaan, apakah kita sudah setia seperti enggang? Dalam menjalin hubungan antar sesama manusia saja terkadang kita tidak mampu untuk mencintai dengan tulus apalagi untuk setia. Sepasang manusia yang sudah menikah saja bisa bercerai karena tidak setia. Lihat saja contoh perkawinan pasangan selebritis kita yang hancur karena perceraian. Ketika mereka ditanyai mengenai hal tersebut jawaban akhirnya biasanya begini “Yah,..ini mungkin kehendak yang di atas. Jawaban seperti ini biasanya akan terlontar ketika sudah tidak ada lagi jawaban yang bagus untuk meyakinkan publik bahwa apa yang menjadi keputusan mereka itu benar. Aneh bukan? Kita manusia ternyata lebih mudah untuk menyalahkan Tuhan ketika kita gagal, yang dalam hal ini gagal memelihara “cinta” yang merupakan anugerah yang sangat luar biasa.

Tentunya cinta dan kesetiaan itu tidak melulu harus menyangkut hubungan antar manusia. Manusia sebagai variabel dominan dalam keberlangsungan kehidupan di bumi ini hendaknya dapat menyadari bahwa dirinya memiliki peranan yang sangat menentukan nasib planet ini. Dalam kondisi seperti sekarang ini dimana bumi semakin sekarat karena pemansan global, kita sebagai manusia harus dengan rendah hati mengakui di hadapan Alam bahwa selama ini kita telah salah. Manusia ternyata telah menjadi makhluk perusak nomor 1 (satu) di bumi ini.

Lalu dimana letak kesalahan kita selama ini? Kembali pada kehidupan burung enggang, mereka telah menunjukkan cinta dan kesetiaan yang nyata sesuai dengan derajad mereka sebagai binatang. Seharusnya kita juga demikian sebab kita dapat memberikan cinta yang lebih kepada bumi ini. Cinta kepada alam dapat diwujudkan dengan pemeliharaan dan pengelolaan sumber daya alam secara arif dan bijaksana, tidak seperti selama ini, kita justru lebih rakus dari binatang. Eksploitasi tanpa batas telah menyebabkan planet ini sakit. Berbagai macam bencana alam seperti badai, banjir, longsor, dan kebakaran hutan datang bergantian. Seharusnya dengan bencana seperti itu kita semakin sadar bahwa alam juga memiliki amarah. Ketika alam terlalu disakiti dan dikhianati maka ia akan dapat dengan mudah menghilangkan nyawa manusia. Demikian juga dengan kesetiaan, kesetiaan kita kepada planet ini dapat kita wujudkan dengan memelihara alam ini secara terus menerus tanpa ada batas waktu seperti enggang yang tak pernah mengeluh.
Sumber : www.borneo-arts.blogspot.com