Jumat, 15 Juli 2011

Headhunting (Ngayau) dan Filosofinya




Headhunting di kalangan etnis Dayak, khususnya Dayak Jangkang, haruslah dilihat dalam konteks. Melepaskannya dari konteks, akan keliru besar, baik dalam pemahaman maupun dalam penilaian.

Dayak bukanlah etnis terakhir di Nusantara yang mempraktikkan headhunting. Masih banyak etnis lain yang melakukannya. Secara serentak, etnis Dayak mengakhiri ngayau tahun 1894, ketika diadakan musyawarah besar adat Dayak di Tumbang Anoi yang difasilitasi kompeni.

Mewakili daerah Jangkang menghadiri musyawarah Tumbang Anoi adalah Macan Talot dari Engkarong dan Macan Natos dari Kopa. Mengapa kedua macan (temenggung) itu yang diutus, agaknya berhubungan erat dengan posisi ketemenggungan, atau pemerintahan lokal, Jangkang pada saat itu.

Ngayau zaman dulu dilakukan saat padi sedang menguning. Hasil kayauan akan dipestakan bersamaan waktunya dengan gawai (pesta panen padi). Dayak Jangkang menamakan pesta menarikan kepala musuh ini Notongk. Notongk ditarikan (sonaja) sebagai satu rangkaian dari gawai itu sendiri. Ini gambaran suasana pesta gawai di Balai Ribant tahun 1940-an, penduduk bersukaria dan berdendang di ujung kampung. Sementara di samping tempayan tuak yang siap diminum bersama dengan menggunakan siongk (bambu kecil) untuk alat penyedot.

Akhir abad 18, pemerintahan lokal Jangkang dibagi dalam tujuh ketemenggungan. Karena ketemenggungan Engkarong adalah yang paling awal –keturunan langsung atau arkais dari migran pertama dari Tampun Juah, poya tona (tanah tumpah darah) pendiri kerajaan Sanggau, Dara Nante dan Babai Cinga— maka temenggung Engkarong yang paling dituakan. Ia menjadi primus inter pares dari enam temenggung lain, yakni ketemenggungan:
1) Kopa
2) Nsanong (Ensanong)
3) Tomok
4) Ndoya (Endoya)
5) Mpurangk (Poter)
6) Soguna (Mukok)

Talot sebagai macan Engkarong bersama Natos macan Kopa ditemani controleur dari Sintang berangkat ke Tumbang Anoi. Namun, di perjalanan controleur sakit (kakinya bengkak, bagi orang Barat kaki bengkak sangat berbahaya), lalu kembali ke Sintang lagi. Dengan demikian, hanya dua macan dari Jangkang yang menghadiri musyawarah Tumbang Anoi.

Saya setuju dengan J.U. Lontaan (1975: 533-537) yang mencatat setidaknya terdapat empat motif ngayau.
Pertama, melindungi pertanian.
Kedua, mendapatkan tambahan daya (rohaniah).
Ketiga, balas dendam.
Keempat, daya tahan bagi berdirinya bangunan.

Namun, saya menambahkan satu alasan ngayau lagi.
Kelima, ngayau adalah ujud pertahanan diri melawan serangan asing. Pertahanan diri ini tidak saja pasif (menunggu), tapi juga bisa menyerang (aktif atau preventif). Jika setelah dianalisis dengan perhitungan matang suatu suku atau kelompok akan menyerang atau mengancam, sebelum didahului, maka akan mendahului.

Ke dalam lima konteks inilah ngayau harus ditempatkan.

sumber : www.masri-sareb.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar