Sabtu, 16 Juli 2011
Sapek (Seruan Anak Pendalaman Kalimantan): Pangkalima Burung
Sapek (Seruan Anak Pendalaman Kalimantan): Pangkalima Burung: "Dalam masyarakat Dayak, dipercaya ada ada suatu makhluk yang disebut-sebut sangat agung, sakti, ksatria, dan berwibawa. Sosok ter..."
Jumat, 15 Juli 2011
Pangkalima Burung
Selain banyaknya versi cerita, di penjuru Kalimantan juga ada banyak orang yang mengaku sebagai Pangkalima Burung, entah di Tarakan, Sampit, atau pun Pontianak. Namun setiap pengakuan itu hanya diyakini dengan tiga cara yang berbeda; ada yang percaya, ada yang tidak percaya, dan ada yang ragu-ragu. Belum ada bukti otentik yang memastikan salah satunya adalah benar-benar Pangkalima Burung yang sejati.
Banyak sekali isu dan cerita yang beredar, namun ada satu versi yang menurut saya sangat pas menggambarkan apa dan siapa itu Pengkalima Burung. Ia adalah sosok yang menggambarkan orang Dayak secara umum. Pangkalima Burung adalah perlambang orang Dayak. Baik itu sifatnya, tindak-tanduknya, dan segala sesuatu tentang dirinya.
Lalu bagaimanakah seorang Pangkalima Burung itu, bagaimana ia bisa melambangkan orang Dayak? Selain sakti dan kebal, Pangkalima Burung juga adalah sosok yang kalem, tenang, penyabar, dan tidak suka membuat keonaran. Ini sesuai dengan tipikal orang Dayak yang juga ramah dan penyabar, bahkan kadang pemalu. Cukup sulit untuk membujuk orang Dayak pedalaman agar mau difoto, kadang harus menyuguhkan imbalan berupa rokok kretek.
Dan kenyataan di lapangan membuyarkan semua stereotipe terhadap orang Dayak sebagai orang yang kejam, ganas, dan beringas. Dalam kehidupan bermasyarakat, orang Dayak bisa dibilang cukup pemalu, tetap menerima para pendatang dengan baik-baik, dan senantiasa menjaga keutuhan warisan nenek moyang baik religi maupun ritual. Seperti Pengkalima Burung yang bersabar dan tetap tenang mendiami pedalaman, masyarakat Dayak pun banyak yang mengalah ketika penebang kayu dan penambang emas memasuki daerah mereka. Meskipun tetap kukuh memegang ajaran leluhur, tak pernah ada konflik ketika ada anggota masyarakatnya yang beralih ke agama-agama yang dibawa oleh para pendatang. Riuh rendah tak berubah menjadi ketegangan di ruang yang lingkup–yang oleh orang Dayak Ngaju disebut Danum Kaharingan Belum.
Kesederhanaan pun identik dengan sosok Pangkalima Burung. Walaupun sosok yang diagungkan, ia tidak bertempat tinggal di istana atau bangunan yang mewah. Ia bersembunyi dan bertapa di gunung dan menyatu dengan alam. Masyarakat Dayak pedalaman pun tidak pernah peduli dengan nilai nominal uang. Para pendatang bisa dengan mudah berbarter barang seperti kopi, garam, atau rokok dengan mereka.
Pangkalima Burung diceritakan jarang menampakkan dirinya, karena sifatnya yang tidak suka pamer kekuatan. Begitupun orang Dayak, yang tidak sembarangan masuk ke kota sambil membawa mandau, sumpit, atau panah. Senjata-senjata tersebut pada umumnya digunakan untuk berburu di hutan, dan mandau tidak dilepaskan dari kumpang (sarung) jika tak ada perihal yang penting atau mendesak.
Lantas di manakah budaya kekerasan dan keberingasan orang Dayak yang santer dibicarakan dan ditakuti itu? Ada satu perkara Pangkalima Burung turun gunung, yaitu ketika setelah terus-menerus bersabar dan kesabarannya itu habis. Pangkalima burung memang sosok yang sangat penyabar, namun jika batas kesabaran sudah melewati batas, perkara akan menjadi lain. Ia akan berubah menjadi seorang pemurka. Ini benar-benar menjadi penggambaran sempurna mengenai orang Dayak yang ramah, pemalu, dan penyabar, namun akan berubah menjadi sangat ganas dan kejam jika sudah kesabarannya sudah habis.
Pangkalima Burung yang murka akan segera turun gunung dan mengumpulkan pasukannya. Ritual–yang di Kalimankan Barat dinamakan Mangkuk Merah–dilakukan untuk mengumpulkan prajurit Dayak dari saentero Kalimantan. Tarian-tarian perang bersahut-sahutan, mandau melekat erat di pinggang. Mereka yang tadinya orang-orang yang sangat baik akan terlihat menyeramkan. Senyum di wajahnya menghilang, digantikan tatapan mata ganas yang seperti terhipnotis. Mereka siap berperang, mengayau–memenggal dan membawa kepala musuh. Inilah yang terjadi di kota Sampit beberapa tahun silam, ketika pemenggalan kepala terjadi di mana-mana hampir di tiap sudut kota.
Meskipun kejam dan beringas dalam keadaan marah, Pengkalima Burung sebagaimana halnya orang Dayak tetap berpegang teguh pada norma dan aturan yang mereka yakini. Antara lain tidak mengotori kesucian tempat ibadah–agama manapun–dengan merusaknya atau membunuh di dalamnya. Karena kekerasan dalam masyarakat Dayak ditempatkan sebagai opsi terakhir, saat kesabaran sudah habis dan jalan damai tak bisa lagi ditempuh, itu dalam sudut pandang mereka. Pembunuhan, dan kegiatan mengayau, dalam hati kecil mereka itu tak boleh dilakukan, tetapi karena didesak ke pilihan terakhir dan untuk mengubah apa yang menurut mereka salah, itu memang harus dilakukan. Inilah budaya kekerasan yang sebenarnya patut ditakuti itu.
Kemisteriusan memang sangat identik dengan orang Dayak. Stereotipe ganas dan kejam pun masih melekat. Memang tidak semuanya baik, karena ada banyak juga kekurangannya dan kesalahannya. Terlebih lagi kekerasan, yang apapun bentuk dan alasannya–entah itu balas dendam, ekonomi, kesenjangan sosial, dan lain-lain–tetap saja tidak dapat dibenarkan. Mata dibalas mata hanya akan berujung pada kebutaan bagi semuanya. Terlepas dari segala macam legenda dan mitos, atau nyata tidaknya tokoh tersebut, Pangkalima Burung bagi saya merupakan sosok perlambang sejati orang Dayak.
Sumber : http://gunawanrudy.com
Mencintai Dan Setia Seperti Enggang
Kingdom : Animalia
Phylum : Chordata
Class : Aves
Order : Coraciiformes
Family: Bucerotidae
Genus : Buceros
Speciaes : Buceros rhinoceros
Class : Aves
Order : Coraciiformes
Family: Bucerotidae
Genus : Buceros
Speciaes : Buceros rhinoceros
Enggang (hornbill), atau Buceros rhinoceros, sejenis burung yang besar badannya dan paruhnya panjang. Yang jantan memiliki mata berwarna merah atau oranye, dan yang betina bermata putih. Panjangnya mencapai 122 cm. Dapat hidup hingga 35 tahun. Bisa dijumpai di Malaysia, Kalimantan, Sumatera dan Sulawesi.
Dalam budaya Kalimantan, burung enggang (tingan) merupakan simbol “Alam Atas” yaitu alam kedewataan yang bersifat “maskulin”. Di Kalimantan, burung enggang sakti dipakai sebagai lambang daerah atau simbol organisasi seperti di Lambang Negeri Sarawak, Kalimantan Tengah, Simbol Universitas Lambung Mangkurat dan sebagainya. Burung enggang diwujudkan dalam bentuk ukiran pada budaya Dayak, sedangkan dalam budaya Banjar, burung enggang diukir dalam bentuk tersamar (didistilir) karena budaya Banjar tumbuh di bawah pengaruh agama Islam yang melarang adanya ukiran makhluk bernyawa.
Cinta dan Kesetiaan Enggang
Selain itu tahukah anda bahwa burung enggang merupakan burung yang setia pada pasangannya dimana burung enggang jantan tak akan pernah berganti pasangan seumur hidupnya. Perlu diketahui juga bahwa pada saat mereka membesarkan anak-anak mereka maka pejantan dan betinanya melakukan peranannya masing-masing. Pada masa-masa ini pejantan akan bertugas mencari makanan berupa buah-buahan, kadal, kelelawar, tikus, ular dan berbagai jenis serangga sedangkan sang betinanya akan bertugas untuk menjaga anak-anaknya di dalam sarang. Hal ini akan mereka lakukan selama anak mereka belum bisa terbang.
Sungguh luar biasa bukan? Sebagai putra borneo, saya sangat berterima kasih kepada Tuhan (Jubata) yang telah menciptakan burung ini dan menempatkan mereka di salah taman di bumi ini, yaitu “Borneo Island”. Melalui burung ini sebenarnya kita dapat belajar mengenai nilai kearifan dan kesetiaan. Tak dapat disangkal lagi sejak jutaan tahun lalu binatang seperti burung enggang sudah berperan aktif dalam pelestarian hutan. Dengan makanan utama mereka yang berupa biji-bijian mereka telah berjasa dalam penyebaran benih-benih tanaman dan pepohonan yang membuat hutan ini tetap lestari. Sebenarnya tanpa kita (manusia) sadari sebenarnya mereka juga telah ikut menjaga bumi ini agar tetap nyaman untuk ditinggali.
Melalui burung ini juga hendaknya kita yang katanya merupakan makhluk yang paling bijaksana mau berkaca dan berani untuk berintropeksi mengenai kehidupan kita sehari-hari. Tentang cinta dan kesetiaan, apakah kita sudah setia seperti enggang? Dalam menjalin hubungan antar sesama manusia saja terkadang kita tidak mampu untuk mencintai dengan tulus apalagi untuk setia. Sepasang manusia yang sudah menikah saja bisa bercerai karena tidak setia. Lihat saja contoh perkawinan pasangan selebritis kita yang hancur karena perceraian. Ketika mereka ditanyai mengenai hal tersebut jawaban akhirnya biasanya begini “Yah,..ini mungkin kehendak yang di atas. Jawaban seperti ini biasanya akan terlontar ketika sudah tidak ada lagi jawaban yang bagus untuk meyakinkan publik bahwa apa yang menjadi keputusan mereka itu benar. Aneh bukan? Kita manusia ternyata lebih mudah untuk menyalahkan Tuhan ketika kita gagal, yang dalam hal ini gagal memelihara “cinta” yang merupakan anugerah yang sangat luar biasa.
Tentunya cinta dan kesetiaan itu tidak melulu harus menyangkut hubungan antar manusia. Manusia sebagai variabel dominan dalam keberlangsungan kehidupan di bumi ini hendaknya dapat menyadari bahwa dirinya memiliki peranan yang sangat menentukan nasib planet ini. Dalam kondisi seperti sekarang ini dimana bumi semakin sekarat karena pemansan global, kita sebagai manusia harus dengan rendah hati mengakui di hadapan Alam bahwa selama ini kita telah salah. Manusia ternyata telah menjadi makhluk perusak nomor 1 (satu) di bumi ini.
Lalu dimana letak kesalahan kita selama ini? Kembali pada kehidupan burung enggang, mereka telah menunjukkan cinta dan kesetiaan yang nyata sesuai dengan derajad mereka sebagai binatang. Seharusnya kita juga demikian sebab kita dapat memberikan cinta yang lebih kepada bumi ini. Cinta kepada alam dapat diwujudkan dengan pemeliharaan dan pengelolaan sumber daya alam secara arif dan bijaksana, tidak seperti selama ini, kita justru lebih rakus dari binatang. Eksploitasi tanpa batas telah menyebabkan planet ini sakit. Berbagai macam bencana alam seperti badai, banjir, longsor, dan kebakaran hutan datang bergantian. Seharusnya dengan bencana seperti itu kita semakin sadar bahwa alam juga memiliki amarah. Ketika alam terlalu disakiti dan dikhianati maka ia akan dapat dengan mudah menghilangkan nyawa manusia. Demikian juga dengan kesetiaan, kesetiaan kita kepada planet ini dapat kita wujudkan dengan memelihara alam ini secara terus menerus tanpa ada batas waktu seperti enggang yang tak pernah mengeluh.
Sumber : www.borneo-arts.blogspot.com
DARA JUANTI
Entah bagaimana, berita keberangkatan Dara Juanti ke pulau Jawa terdengar oleh Damong Nutup. Tertawannya Damong Nutup (Jubair II) disinyalir oleh Dara Juanti. Konon setiap kapal pendatang, berlabuh di daerah Mojopahit, pasti menjadi makanan empuk Kerajaan Mojopahit. Setiap pendatang selalu menjadi tawanan Mojopahit. Mojopahit mempunyai cara licik, memasukan setiap pendatang kedalam perangkap tawanan. Ia selalu memerintahkan petugas khusus, meletakan kura-kura buatan dari emas. Seekor diletakan diburitan kapal dan seekor dihaluan. Kura-kura ini biasanya diletakan pada malam hari waktu orang-orang lagi tidur. Waktu pagi hari petugas Mojopahit pun melakukan pengeledahan kapal pendatang. Apabila ditemukan kura-kura dalam kapal pendatang, maka pendatang tersebut dituduh mencuri kura-kura kepunyaan raja Mojopahit. Bunyi canang/gong bertalu-talu memberi isyarat menangkap anak buah dan seluruh penumpang kapal pendatang.
Berita ini di olah matang-matang oleh Dara Juanti. Akhirnya ditemukan suatu kesimpulan apabila memasuk wilayah kekuasaan Mojopahit, Dara Juanti memerintahkan seluruh anak buahnya : “KALAU TELAH MALAM, SELURUH PENUMPANG HARUS BERJAGA-JAGA. BERPURA-PURA TIDUR. BILAMANA PETUGAS MOJOPAHIT MELETAKAN KURA-KURA EMASNYA, SEGERA BANGUN DAN MELEBUR KURA-KURA ITU”. Benar apa yang terjadi ketika memasuki pelabuhan Mojopahit petugas khusus meletakan kura-kura raja di dalam Kapal Dara Juanti. Pasukan Dara Juanti pun segera mengerjakan perintahnya. Kura-kura emas itu telah dilebur menjadi emas, alu emas, lesung emas, niru dan tikar emas. Keesokan paginya canang raja Mojopahit berbunyi, petugas mencari kura-kura emas. Mereka dating menuju kapal Dara Juanti. Mereka turun dengan berani dan menuduh tegas, bahwa tamu telah mencuri kura-kura emas, raja Mojopahit. Dara Juanti menegor : “Kalian harus memanggil raja Mojopahit, kita harus mengadakan perjanjian sebelum kamu mencari kura-kuramu itu”. Lalu raja diundang dating untuk mengadakan perjanjian.
Dara Juanti berkata: “Jika kamu tidak mendapat kura-kuramu itu, haruslah kamu melepaskan seluruh tawanan bagi kami”. Setelah menyetujui perjanjian lisan ini, mulailah petugas raja Mojopahit mencari dengan semangat. Dari segala penjuru dibongkar satu persatu, tak kunjung jua ditemukan kura-kura emasnya. Sampai putus asalah seluruh petugas. Tanpa komentar, raja Mojopahit memerintahkan melepaskan semua tawanannya. Domang Nutup (Jubair) pun ikut dilepaskan. Memang itulah tujuan utama Dara Juanti.
Domang Nutup (Jubair II) diundang masuk kejong Dara Juanti. Domang Nutup (Jubair II) tercengang melihat atau memandang muka Dara Juanti. Bukankah itu itu satu roman yang sangat popular baginya? Hanya ia tahu roman itu adalah roman wanita. Kenapa, ia berpakaian lelaki?. Pandangan tajam kearah Dara Juanti membuka tabir rahasia. “Aku inilah Dara Juanti adik mu” kata Dara Juanti kepada Domang Nutup (Jubair II). Pertemuan yang sangat mesra dan mengharukan tergoreslah dalam sejarah kedua kaka beradik yang telah lama terpisa tanpa berita.
Pertemuan mesra dan bersejarah ituturut disaksikan oleh seorang pemuda Mojopahit, bernama Patih Logender. Ia pun sangat terpesona dengan paras Dara Juanti sang Gadis Dayak tersebut. Raut muka, kembar dengan perlakuan manis, telah mengoncang rasa ingin mengenal lebih jauh Dara Juanti. Rombongan Dara Juantipun memperpanjang waktu, berfoya-foya, berpesta-pesta beramah tamah dengan penduduk Mojopahit. Gembira dengan lepasnya Domang Nutup (Jubair II) dari tawanan. Kesempatan yang agak lama, telah memberi peluang padat menjalin cinta antara pemuda Mojopahit dengan Dewi Kalimantan Barat tersebut.
Kembalinya rombongan Dara Juanti serselip dua orang penting bagi Dara Juanti. Patih Logender bersama abangnya Domang BNutup (Jubair II) turut menuju Kalimantan Barat, untuk mensyahkan pernikahannya menurut adapt Dayak. Pernikahan mudah disyahkan, dengan syarat, Patih Logender gharus membawa duabelas perinduk (keluarga) sebagai bukti antaran. Patih Logender telah mengusahakannya dan berhasil.
Kedua belas perinduk ini telah dipersembahkan sebagai harta antaran. Mereka telah berdiam dikaki Gunung Kelam (Bukit Kelam-Sintang). Mereka telah berkembang biak, membentuk satu suku yang disebut Suku LEBANG NADO. Mereka membawa bibit-bibit tanaman seperti cabe, lada dll.
Keahlian menenunpun masih tetap dikerjakan hingga sekarang ini. Mereka pandai menenun kain seperti sumbu lampu, dijadikan pakaian kebaya tahan dipakai untuk bekerja tani.
Patih Logender meninggalkan sebuah keris, yang disebut keris Mojopahit oleh penduduk local, dan sekeping tanah, disebut juga tanah Mojopahit. Sehelai kain cindai, disebut Gerising Wayang. Ukiran burung Garuda, tak beda dengan gambar burung Garuda lambing kebangaan bangsa Indonesia. Semuanya masih tersimpan dan diurus oleh Direktorat Kebudayaan Kabupaten Sintang. Kecuali keris Mojopahit yang bertatah intan, telah diambil Jepang dijaman Jayanya di Indonesia.
Disamping kraton Sintang, terdapat sebuah batu, berbentuk bulat panjang. Satu lambang kesuburan disebut batu “KUNDUR”
Dayak Punan Kaki Merah: Antara Ada dan Tiada
Di hulu Barito ada tiga desa yang dianggap sebagai perkampungan orang Dayak Punan, yaitu Tumbang Karamu, Tumbang Tunjang, dan Tumbang Topus. Penduduk ketiga desa ini menyatakan bahwa mereka adalah keturunan orang Punan. Punan adalah orang gaib, manusia perkasa di hutan rimba. Mereka bisa menghilangkan diri hanya dengan berlindung di balik sehelai daun. Jejaknya sulit diikuti. Mereka berjalan miring dan sangat cepat. Tubuh mereka ringan karena tidak makan garam.
Namun, kalau ditanya pada mereka tentang Ot Siau atau Punan Berkaki Merah, mereka sendiri mengatakan tidak pernah melihat maupun bertemu. Namun mereka yakin bahwa Punan Berkaki Merah memang ada, dengan ciri unik, yaitu tangan dan kaki berwarna merah seperti kaki burung Siau.
Penduduk tiga desa itu membuat dua kategori Punan. Pertama, ”Punan Pemerintah”, yaitu orang-orang Punan yang bersedia tinggal-menetap di kampung. Kedua, Punan Siau yang tinggal di goa dan mengembara di rimba belantara. Orang-orang Karamu, Tunjang, dan Topus mengaku diri sebagai ”Punan Menetap”, serta bersaudara dengan Punan Siau yang dipercayai tinggal di hulu Sungai Borak.
Punan yang ”asli”, menurut orang-orang ini, adalah mereka yang tinggal di rimba belantara dan dalam goa-goa yang gelap. Kaki dan tangan mereka diwarnai merah dengan daun saronang atau jarenang. Seluruh tubuh mereka dilapis dengan sejenis jamur yang mengandung fosfor sehingga tampak menyala di kegelapan.
Dalam hal berburu, orang Punan Siau pantang membunuh binatang yang lengah. Jika bertemu dengan rusa yang sibuk memakan dedaunan, ia bertepuk tangan keras-keras untuk memberitahukan kehadirannya.
Ketika rusa itu terkejut dan lari, barulah ia memburunya. Mereka itulah pemburu sejati bersenjatakan sumpit, serta pantang menaklukan buruan dengan cara mengintai diam-diam.
Sekalipun bisa bertutur banyak, tidak ada seorang pun dari penduduk tiga kampung itu pernah bertemu langsung dengan Punan Siau. Beberapa orangtua lainnya hanya mengatakan pernah melihat jejak kaki, tetapi tidak pernah melihat orangnya. Menurut mereka, hal itu terjadi karena orang Punan Siau memiliki kata lamunan, yaitu mantra sakti untuk menghilangkan diri di balik sehelai daun.
Punan adalah kumpulan cerita menakjubkan. Dalam khazanah lokal Kalimantan, Punan selalu digambarkan sebagai manusia perkasa dan ahli berburu. Mereka dilihat sebagai orang yang berkekuatan supranatural tinggi. Mereka dapat menghilang dan mempunyai penciuman yang tajam.Mereka juga dilihat sebagai manusia istimewa penghuni hutan. Orang Punan juga memiliki pengetahuan akan obat-obat manjur, dari akar dan daun-daun kayu hutan. Konon, jika para perempuan Punan melahirkan, mereka akan sembuh dalam satu hari.
Kuburan Punan
Di Desa Tumbang Topus sudah tidak ada lagi yang murni Punan. Yang ada hanyalah campuran antara Punan dan orang Siang-Murung, Bahau, Benuaq, dan Ot Danum atau Kahayan. Toras, Potogor, dan Batang Pantar yang jumlahnya ada beberapa di kampung itu menunjukkan bahwa dalam ritual kematian mereka cenderung sebagai orang Ot Danum atau Siang Murung.
Mereka mengidentifikasi diri sebagai keturunan Punan pada seonggok batu besar yang oleh orang setempat disebut dengan Batu Awu-BaLang. Pada ceruk dinding salah satu bukit batu itu tampak tergolek dua tengkorak dan tulang-belulang manusia.
Menurut mereka, tengkorak dan tulang-belulang itu adalah milik dua tokoh Punan yang bernama Awu dan BaLang. Menjelang wafat, mereka mengamanatkan agar tulang-belulangnya jangan dikubur dalam tanah, tetapi diletakkan di ceruk batu, seperti layaknya orang Punan yang berdiam di goa batu.
Bagi orang Tumbang Topus, Batu Awu-BaLang bukanlah sekadar kuburan, tetapi merupakan monumen asal-usul diri karena di sana terdapat petunjuk bahwa leluhur mereka memanglah orang Punan.
Pengetahuan tentang Punan bukan hanya monopoli pakar antropologi. Orang Dayak pun sangat aktif dalam membangun identitas dirinya. Sebagai internal agen, mereka aktif mengonstruksi diri. Di Tumbang Karamu, Tumbang Tujang, dan Tumbang Topus, dengan tegas mereka mengatakan ”Kami bukan Punan Habongkot, bukan Punan Kareho, dan juga bukan Punan Siau. Kami adalah Punan Murung.”
Hampir seabad yang lalu, Carl Lumholtz, seorang penjelajah asal Norwegia, telah melakukan ekspedisi Barito-Muller-Mahakam (1915-1916). Di hulu Sungai Busang ia bertemu dengan Punan Panyawung.
Namun kini, di awal abad ke-21, kalolah kita berkunjung ke hulu Sungai Murung, kita akan bertemu dengan Punan baru, yaitu Punan Murung, Punan yg sudah nggak asli lagi. Jadi, Punan itu ada dan tiada.(vb-01/Marko Mahin: Dosen Agama dan Budaya Dayak di Sekolah Tinggi Teologi Gereja Kalimantan Evangelis Banjarmasin dan Peneliti di Lembaga Studi Dayak-21)
Sumber : www.vivaborneo.com
MARGINALISASI TERHADAP ORANG DAYAK
Jika kita melihat kecenderungan iklim politik daerah di Kalimantan, katakanlah di Kalimantan Barat yang mayoritas penduduknya adalah suku Dayak (40% lebih), permainan marginalisasi ini muncul ketika pemerintah menerapkan sistem negara yang sentralistik pada zaman orde baru. Sistem yang diciptakan pusat dengan sentralistik itu telah menjadi penghalang dan penjajah secara tidak langsung. Sebetulnya bukan hanya masyarakat Dayak yang dirugikan dari penerapan sistem pemerintahan ini, hampir diseluruh Nusantara, daerah menjadi kuda pacu bagi pusat. Kekayaan daerah yang berhasil dieksplorasi oleh perusahaan-perusahaan raksasa sebagian besar hasilnya diangkut kepusat. Akibatnya daerah hanya mendapatkan bagian terkecil dari hasil industri perdagangan tersebut.
Marginalisasi oleh pemerintah pusat dimasa Orba menyebabkan daerah-daerah seperti Aceh, Kalimantan, Papua, Timor Timur, dan sebagian Sulawesi menjadi ngambang tanpa arah pembangunan yang jelas. Mereka ini ibarat bergantung pada tuan yang galak dan tidak bernurani. Setelah kekayaan mereka diambil, mereka ditinggalkan begitu saja. Adapun pengembalian kembali kekayaan kepada mereka tidaklah sebanding dengan apa yang telah diambil.
Kesalahan pemerintahan dizaman orde baru tersebut menjadi semacam bom pemicu sehingga daerah-daerah mulai berontak dan melawan. Walaupun melawan bukan dalam kontek perjuangan bersenjata, mereka mulai membuat gerakan-gerakan politik oposisi daerah untuk menjadi penggerak utama memperjuangkan hak-hak lokal. Sistem yang sentralistik dan marginalisasi itu membuat daerah-daerah kerdil. Langkah berontak yang mereka tunjukkan sedikit demi sedikit mampu menyentil pemerintah pusat sehingga pemerintah pusat sendiri mau tidak mau melunak dan mulai memperhatikan kepentingan daerah. Tetapi perhatian pusat masih dalam lingkup yang sekedar saja tanpa berusaha maksimal memberikan perhatian pembangunan dan sosial kebudayaan daerah. Akibatnya aksi berontak ini masih berlanjut dan menjadi bumerang yang membuat pusat terpinsut salah aksi. Daerah merasa dianaktirikan, bahkan dalam tatanan tertentu marginalisasi ini semakin merambah beberapa aspek kehidupan.
Beberapa hal yang menjadi kendala pengembangan daerah dimasa orde baru karena sistem pemerintah yang terpusat itu adalah sebagai berikut:
1. Potensi penghasilan daerah diangkut kepusat sehingga sumber dana daerah sangat minim. Kekuasaan selalu terpusat di Jakarta dan kebijakan juga demikian, daerah hanya sebagai pelaksana harian tanpa wewenang yang lebih besar untuk mengambil keputusan-keputusan strategis bagi kepentingan lokal.
2. Secara tidak langsung, pemerintah pusat menekan dan menjajah rakyat etnik. Semisal, orang Dayak jarang diberi kesempatan untuk mengisi posisi kunci dalam pemerintahan. Di Aceh, ketika daerah ini dinyatakan sebagai DOM Daerah Operasi Militer, orang-orang lokal tidak diberi kekebasan dalam hal berdemokrasi dan selalu dicurigai sebagai aktek-antek Gerakan Aceh Merdeka. Pemerintah menutup pintu untuk masyarakat Aceh dalam hal politik. Akhirnya, mereka berjuang minta dukungan dunia luar agar mereka bisa memegang tampuk pemerintahan daerah.
3. Kecenderungan lain yang sebetulnya tidak terbaca oleh masyarakat dari sentralisasi pemerintahan ini adalah program Javanisasi dan Islamisasi. Hampir semua program transmigrasi kedaerah melibatkan dua kekuatan ini, sehingga terjadilah silang pendapat mengenai perlu tidaknya transmigrasi. Disektor pemerintahan, aroma Javanisasi begitu kental. Dulu pusat punya kebijakan untuk mengusulkan dan menempatkan seorang pemimpin dari etnis Jawa untuk memimpin daerah.
4. Secara halus negara menjajah daerah. Ingat bagaimana ekspoloitasi dan pengaruh-pengaruhnya dari bahasan diatas tadi. Ini menunjukkan ada indikasi yang sangat dominan oleh pemerintah pusat dalam banyak urusan didaerah. Secara kasat mata pusat telah menjajah daerah tanpa memberi ruang gerak yang cukup luas bagi daerah untuk berinovasi menemukan resep pembangunan yang sesuai kebutuhan dan kultur daerahnya. Memang disisi lain daerah masih terbatas dengan beberapa sumber daya, namun karena begitu dominannya pengaruh pemerintah pusat dizaman orde baru, daerah hanya sebagai pelaksana saja tanpa mempu mengambil keputusan-keputusan besar untuk membangun daerah secara kontinue.
Pengaruh dan dominasi pemerintah pusat ini secara halus membunuh potensi-potensi lokal. Para politikus lokal yang memiliki kemampuan untuk membawa daerah menuju kesejahteraan dihambat dan dihalang-halangi. Pusat membuat sebuah sistem lingkaran yang membentengi posisi utama dalam pemerintahan. Akibatnya kekuatan politik lokal menjadi hancur. Ekonomi daerah juga menjadi kacau balau. Harga barang bisa dipengaruhi oleh keadaan ekonomi pusat. Dalam ruang lingkup bisnis, ada kecenderungan monopoli perdagangan yang dibuat sistematis dan disetting untuk menekan pertumbuhan ekonomi daerah.
Ini Semua merupakan persoalan yang kompleks sebagai akibat dari sentralisasi oleh pemerintah tersebut diatas. Marginalisasi ini terus berlanjut bahkan hampir tiga dasa warsa terutama semasa pemerintahan Suharto.
sumber -www.amalgdf.blogspot.com
Marginalisasi oleh pemerintah pusat dimasa Orba menyebabkan daerah-daerah seperti Aceh, Kalimantan, Papua, Timor Timur, dan sebagian Sulawesi menjadi ngambang tanpa arah pembangunan yang jelas. Mereka ini ibarat bergantung pada tuan yang galak dan tidak bernurani. Setelah kekayaan mereka diambil, mereka ditinggalkan begitu saja. Adapun pengembalian kembali kekayaan kepada mereka tidaklah sebanding dengan apa yang telah diambil.
Kesalahan pemerintahan dizaman orde baru tersebut menjadi semacam bom pemicu sehingga daerah-daerah mulai berontak dan melawan. Walaupun melawan bukan dalam kontek perjuangan bersenjata, mereka mulai membuat gerakan-gerakan politik oposisi daerah untuk menjadi penggerak utama memperjuangkan hak-hak lokal. Sistem yang sentralistik dan marginalisasi itu membuat daerah-daerah kerdil. Langkah berontak yang mereka tunjukkan sedikit demi sedikit mampu menyentil pemerintah pusat sehingga pemerintah pusat sendiri mau tidak mau melunak dan mulai memperhatikan kepentingan daerah. Tetapi perhatian pusat masih dalam lingkup yang sekedar saja tanpa berusaha maksimal memberikan perhatian pembangunan dan sosial kebudayaan daerah. Akibatnya aksi berontak ini masih berlanjut dan menjadi bumerang yang membuat pusat terpinsut salah aksi. Daerah merasa dianaktirikan, bahkan dalam tatanan tertentu marginalisasi ini semakin merambah beberapa aspek kehidupan.
Beberapa hal yang menjadi kendala pengembangan daerah dimasa orde baru karena sistem pemerintah yang terpusat itu adalah sebagai berikut:
1. Potensi penghasilan daerah diangkut kepusat sehingga sumber dana daerah sangat minim. Kekuasaan selalu terpusat di Jakarta dan kebijakan juga demikian, daerah hanya sebagai pelaksana harian tanpa wewenang yang lebih besar untuk mengambil keputusan-keputusan strategis bagi kepentingan lokal.
2. Secara tidak langsung, pemerintah pusat menekan dan menjajah rakyat etnik. Semisal, orang Dayak jarang diberi kesempatan untuk mengisi posisi kunci dalam pemerintahan. Di Aceh, ketika daerah ini dinyatakan sebagai DOM Daerah Operasi Militer, orang-orang lokal tidak diberi kekebasan dalam hal berdemokrasi dan selalu dicurigai sebagai aktek-antek Gerakan Aceh Merdeka. Pemerintah menutup pintu untuk masyarakat Aceh dalam hal politik. Akhirnya, mereka berjuang minta dukungan dunia luar agar mereka bisa memegang tampuk pemerintahan daerah.
3. Kecenderungan lain yang sebetulnya tidak terbaca oleh masyarakat dari sentralisasi pemerintahan ini adalah program Javanisasi dan Islamisasi. Hampir semua program transmigrasi kedaerah melibatkan dua kekuatan ini, sehingga terjadilah silang pendapat mengenai perlu tidaknya transmigrasi. Disektor pemerintahan, aroma Javanisasi begitu kental. Dulu pusat punya kebijakan untuk mengusulkan dan menempatkan seorang pemimpin dari etnis Jawa untuk memimpin daerah.
4. Secara halus negara menjajah daerah. Ingat bagaimana ekspoloitasi dan pengaruh-pengaruhnya dari bahasan diatas tadi. Ini menunjukkan ada indikasi yang sangat dominan oleh pemerintah pusat dalam banyak urusan didaerah. Secara kasat mata pusat telah menjajah daerah tanpa memberi ruang gerak yang cukup luas bagi daerah untuk berinovasi menemukan resep pembangunan yang sesuai kebutuhan dan kultur daerahnya. Memang disisi lain daerah masih terbatas dengan beberapa sumber daya, namun karena begitu dominannya pengaruh pemerintah pusat dizaman orde baru, daerah hanya sebagai pelaksana saja tanpa mempu mengambil keputusan-keputusan besar untuk membangun daerah secara kontinue.
Pengaruh dan dominasi pemerintah pusat ini secara halus membunuh potensi-potensi lokal. Para politikus lokal yang memiliki kemampuan untuk membawa daerah menuju kesejahteraan dihambat dan dihalang-halangi. Pusat membuat sebuah sistem lingkaran yang membentengi posisi utama dalam pemerintahan. Akibatnya kekuatan politik lokal menjadi hancur. Ekonomi daerah juga menjadi kacau balau. Harga barang bisa dipengaruhi oleh keadaan ekonomi pusat. Dalam ruang lingkup bisnis, ada kecenderungan monopoli perdagangan yang dibuat sistematis dan disetting untuk menekan pertumbuhan ekonomi daerah.
Ini Semua merupakan persoalan yang kompleks sebagai akibat dari sentralisasi oleh pemerintah tersebut diatas. Marginalisasi ini terus berlanjut bahkan hampir tiga dasa warsa terutama semasa pemerintahan Suharto.
sumber -www.amalgdf.blogspot.com
Langganan:
Postingan (Atom)